Senin, 30 Juni 2014

Pihak-pihak yang Kasusnya Diselidiki KPPU


Indikasi antara lain terlihat dari laporan stok dan ketidakpastian kebijakan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mensinyalir adanya indikasi kartel kedelai. Komoditi yang akrab dengan menu keseharian rakyat Indonesia ini terus bergejolak mengalami kenaikan harga. Gejolak harga kedelai ini tercatat sejak tahun 2012 lalu memang selalu mengalami kenaikan setiap bulan Agustus.

Setidaknya lima juta orang yang menggantungkan hidup dari kedelai menjadi terombang-ambing nasibnya. Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo), Aip Syarifuddin, mengatakan saat ini ada 150 ribu pengrajin dengan 1,5 juta pegawai. “Kalau dikalikan satu keluarga itu tiga orang itu sudah lima juta orang yang tergantung hidupnya dari kedelai,” ujarnya.

Disinyalir, ketidakstabilan harga kedelai dalam beberapa waktu dekat ini dikarenakan adanya permainan yang tak sehat dalam pendistribusiannya. Dari rapat dengar pendapat yang digelar oleh KPPU, Kamis, 5 September, ditemukan beberapa indikasi kartel kedelai.
“Hearing ini tujuannya untuk menguak fakta itu. Kita melihat indikasinya kelihatan. Permainan lah, bisa,” kata Komisioner KPPU, Munrohim Misanam.

Munrohim menjelaskan, indikasi permainan yang tidak sehat dalam perdagangan kedelai antara lain terlihat dari ketidaksamaan laporan mengenai stok kedelai. Munrohim menilai laporan yang diterima oleh pihaknya berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh pihak Kementerian Perdagangan. Selain itu, indikasi lainnya adalah adanya ketidakpastian kebijakan. “Ketika ada ketidakpastian kebijakan, ada kemungkinan di sana terjadi permainan,” ujar Munrohim lugas.

Untuk memastikan ada tidaknya kartel kedelai dari indikasi-indikasi yang tertangkap, Munrohim menegaskan pihaknya akan segera melakukan investigasi. Jika dari proses pendalaman itu ditemukan fakta-fakta yang menguatkan, maka KPPU akan melanjutkan proses menuju tahapan penyelidikan. Penemuan dalam penyelidikan akan menentukan masalah ini masuk sebagai perkara atau tidak. “Ini biar didalami, biar jalan dulu prosesnya. Ini menjadi titik masuk bagi kita untuk kroscek,” kata Munrohim.

Akan tetapi, Munrohim enggan mengatakan target waktu untuk melakukan semua proses itu. “Saya tidak bisa memastikan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melakukan investigasi, karena itu bergantung pada dinamika penyelidikan di lapangan nanti. Bisa cepat seperti bawang putih, bisa lambat seperti daging,” ujarnya.

Pemerintah mencoba melakukan tata niaga kedelai dengan regulasi importasi kedelai yang mewajibkan pelaku menjadi importir terdaftar (IT). Setelah IT diproses, langkah selanjutnya adalah menunggu legalitas pemerintah untuk mendapatkan surat persetujuan impor (SPI). Prosedur yang tidak sederhana menyebabkan molornya SPI.

Analisis:
Dalam menanggapi masalah ini, sepertinya banyak diperlukan  tanggapan dari pemerintah secara langsung. Sebaiknya agar hal ini tidak terjadi lagi perlu diadakannya pengawasan yang ketat oleh pemerintah dalam pendistribusian kacang kedelai ini. Kacang kedelai ini merupakan bahan utama dalam pembuatan bahan pangan temped an tahu, dimana bahan pangan tersebut sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Selain kandungan gizinya masyarakat Indonesia gemar mengkonsumsi makanan ini dikarenakan harganya yang terjangkau. Kalau harga kedelai saja sudah mahal dkarenakan oknum yang mementingkan diri sendiri, bagaimana harga bahan makanan olahannya ?. Untuk bahan masyarakat kalangan bawah, mereka hanya mampu membeli tahu dan tempe saja, kalau harga tahu dan tempe  sudah mahal lalu mereka mau makan apa?. Hal ini juga yang dapat menjadi salah satu factor penyebab kelaparan di Indonesia.


Sumber:

Senin, 02 Juni 2014

UU Perlindungan Konsumen dan Contoh Kasus


Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.

UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa ; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.

Di Indonesia , dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
  • Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
  • Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
  • Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
  • Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
  • Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
  • Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
  • Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Sanksi Pidana UU Perlindungan Konsumen
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut :
1)        Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap :
·         pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ),
·         pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ),
·         memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ),
·         pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b )

2)      Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap :
·         pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral,
·         pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan,
·         pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.

Kasus Persengketaan antara Konsumen dan Pelaku Usaha.

Dalam kasus ini saya pernah mengalaminya sendiri. Sewaktu saya sedang berbelanja di salah satu tempat perbelanjaan yang cukup ternama, saya mencoba untuk membeli sebuah tempat beras dengan ukuran  kecil, dimana tepat dibawah tempat beras tersebut tertera sebuah harga berkisar Rp 197 ribu, untuk memastikan saya mencoba untuk mem-barcode kode barang tersebut sebelum saya membayarnya dikasir. Setelah saya barcode ternyata harga yang tertera sekitar  Rp 206 ribu, untuk memastikan harga mana yang benar saya mencoba untuk memanggil petugas yang sedang bekerja dsitu dan dy juga mengatakan “Benar yang tertera Mba, sedang promo weekend”, karena mendengar penjelasan petugas tersebut lalu saya membayarnya dikasir, sesampainya dikasir ternyata harga yang tertera sebesar Rp 206 ribu, saya mencoba untuk menjelaskan kepada petugas kasir sebagaimana petugas yang sebelumnya menjelaskan kepada saya. Untuk meyakinkan petugas kasir tersebut mengajak saya untuk ketempat dimana saya mengambil barang tersebut, dan sekali lagi petugas kasir tersebut meminta salah satu petugasnya untuk memerisakan harga barang tersebut dengan petugas yang berbeda dengan saya tadi. Petugas ini mengatakan bahwa harga yang benar Rp 206 ribu, karena saya merasa benar saya jelaskan kembali “Tapi itu didaftar harganya Rp 197 ribu”  dengan santai dia menjawabnya “Ya itu harga lama, harga yang baru Rp 206” saya berpikir kalau memang itu hrga lama kenapa masih dipasang disitu bukankah itu pembohongan public? Itu baru satu barang yang jelas terlihat perbedaan harganya, memang kalau dilihat selisih nilai nominalnya tidak terlalu jauh, tapi karena saya sudah kesal dengan pembohongan tersebut akhirnya saya memutuskan untuk pulang tidak jadi membeli barang itu. 

Bayangkan itu baru satu barang yang terlihat perbedaan, bagaimana jika konsumen lain yang membeli dalam jumlah banyak, tidak mungkin satu-persatu barang yang ia beli diperiksa harganya. Dilihat dari harga yang saya contohkan selisih satu barang bisa sekitar Rp 9 ribu bagaimana kalu sepuluh barang kita sebagai konsumen bisa rugi sekitar Rp 90 ribu. Untuk menghidarkan kejadian ini terhadap konsumen lain saya mencoba mengatakan kepada manager yang sedang bertugas disana dan manager tersebut langsung memriksanya.

Dari kasus yang saya alami ini saya melihat adanya pelanggaran dalam perlindungan konsumen yang tertera dalam UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia diamana dalam isinya memuat antara lain tentang; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Dalam kasus saya tidak mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang dijanjikan atau nilai yang sesuai dengan nilai yang tertera.

 Sumber:

Membedah Kasus Hak Cipta

Pembajakan CD Software
Jakarta – Penyidik PPNS Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bersama BSA (Business Software Association) dan Kepolisian melaksanakan Penindakan Pelanggaran Hak Cipta atas Software di 2 tempat di Jakarta yaitu Mall Ambasador dan Ratu Plasa pada hari Kamis (5/4). Penindakan di Mall Ambasador dan Ratu Plaza dipimpin langsung oleh IR. Johno Supriyanto, M.Hum dan Salmon Pardede, SH., M.Si dan 11 orang PPNS HKI. Penindakan ini dilakukan dikarenakan adanya laporan dari BSA (Business Software Association) pada tanggal 10 Februari 2012 ke kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang mengetahui adanya CD Software Bajakan yang dijual bebas di Mall Ambasador dan Ratu Plaza di Jakarta. Dalam kegiatan ini berhasil di sita CD Software sebanyak 10.000 keping dari 2 tempat yang berbeda.
CD software ini biasa di jual oleh para penjual yang ada di Mall Ambasador dan Ratu Plasa seharga Rp.50.000-Rp.60.000 sedangkan harga asli software ini bisa mencapai Rp.1.000.000 per softwarenya. Selain itu, Penggrebekan ini akan terus dilaksanakan secara rutin tetapi pelaksanaan untuk penindakan dibuat secara acak/random untuk wilayah di seluruh Indonesia. Salmon pardede, SH.,M.Si selaku Kepala Sub Direktorat Pengaduan, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, mengatakan bahwa “Dalam penindakan ini para pelaku pembajakan CD Software ini dikenakan pasal 72 ayat 2 yang berbunyi barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau brang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan tidak menutup kemungkinan dikenakan pasal 72 ayat 9 apabila dalam pemeriksaan tersangka diketahui bahwa tersangka juga sebagai pabrikan”.
Dengan adanya penindakan ini diharapkan kepada para pemilik mall untuk memberikan arahan kepada penyewa counter untuk tidak menjual produk-produk software bajakan karena produk bajakan ini tidak memberikan kontribusi kepada negara dibidang pajak disamping itu untuk menghindari kecaman dari United States Trade Representative (USTR) agar Indonesia tidak dicap sebagai negara pembajak.

Melihat contoh kasus diatas, jelas terlihat  masih banyaknya warga Indonesia yang melakukan pembajakan walaupun sudah ada larangan tegas yang dinyatakan secara tertulis oleh pemerintah. Baik sanksi administrasi berupa denda yang dinyatakan dalam rupiah maupun sanksi pidana yang tidak tanggung-tanggung yaitu selama 5 tahun. Marknya pembajakan di Indonesia disinyalir karena masih banyak pula pelanggan yang lebih memilih CD software bajakan, apalagi harga yang ditawarkan jauh lebih murah dari harga aslinya. Razia yang dilakukan polisi-pun tidak setiap saat dan setiap daerah tetapi hanya saat tertentu saja dan hanya disalah satu daerah saja. Razia yang dilakukan polisi yang tidak rutin dan hanya disalah satu daerah saja tidak seimbnag dengan banyaknya CD bajakan yang telah beredar dimasyarakat.
            Jika memang polisi telah menangkap para pengedar ataupun pembuat CD bajakan, diharapkan polisi benar-benar menhusutnya secara tuntas sampai ke-akar, kalu memang menginginkan Indonesia bebas dari unsur pembajakan dan tidak ingin dicap sebagai negara pembajak.

http://kelompokepro7.blogspot.com/2013/06/contoh-kasus-pelanggaran-hak-cipta.html